Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu Khalifah IV
ALI BIN ABI THALIB RADHIYALLAHU ANHU KHALIFAH IV
Makalah ini diterjemahkan dari syarah ringkas Aqidah Thahawiyah yang ditulis oleh Syeikh Muhammad al-Hamud, seri ke 81 tentang kekhalifahan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu dalam majalah al-Furqan terbitan Kuwait edisi 120 Th.XII – Dzul Hijjah 1420 H/April 2000M dengan judul “Fadhlu Amir al-Mu’minin Ali bin Abi Thalib Waliy al-Muttaqin wa Daafi’ al-Mariqin”. Diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin, dengan harapan agar kaum Muslimin semakin memahami dan menyintai para tokoh pendahulunya, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu anhuma . Sehingga aqidah, ilmu, amaliyah, sikap dan ibadahnya kepada Allah menjadi lurus –bi taufiqillah-.
Tentang Perkataan Imam Thahawi rahimahullah (dalam kitabnya Aqidah Thahawiyah) :“Kemudian (kekhalifahan berlanjut) pada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu “
SYARAH.
Maksudnya, kita (harus) menetapkan kekhalifahan sesudah Utsman Radhiyallahu anhu, pada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. (Yaitu) setelah Utsman Radhiyallahu ‘anhu terbunuh dan orang-orang membaiat Ali. Maka jadilah Ali sebagai Imam yang haq (benar) dan wajib ditaati. Dialah khalifah pada zamannya yang masih disebut sebagai khilafah nubuwah, sebagaimana telah ditunjukkan oleh hadits Safinah Radhiyallahu ‘anhu (nama sahabat) yang telah disebutkan sebelumnya [1] yaitu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خِلاَفَةُ النُّبُوَّةِ ثَلاَثُوْنَ سَنَةً، ثُمَّ يُؤْتِي اللهُ مُلْكَهُ مَنْ يَشَاء
Khilafah Nubuwah ada tiga puluh tahun, kemudian Allah akan memberikan kekuasaan-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. [2]
Masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq dua tahun tiga bulan, masa kekhalifahan Umar Radhiyallahu anhu sepuluh tahun setengah, masa kekhalifahan Utsman Radhiyallahu anhu duabelas tahun, masa kekhalifahan Ali Radhiyallahu anhu empat tahun sembilan bulan, dan masa kekhalifahan Hasan bin Ali Radhiyallahu anhuma enam bulan.
Kemudian raja kaum Muslimin yang pertama adalah Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu , dialah raja kaum Muslimin yang terbaik. Tetapi beliau menjadi Imam hanya setelah Hasan bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma menyerahkan jabatan khalifah kepadanya. Sebab (sebelum itu) Hasan bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma telah dibaiat oleh penduduk Irak setelah kematian bapaknya. Selanjutnya setelah enam bulan, Hasan menyerahkan urusan kekhalifahan kepada Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu .
Dari situ tampaklah kebanaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersabda :
إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَسَيُصْلِحُ اللهُ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيْمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
Sesungguhnya anakku (baca : cucuku) ini adalah sayyid (orang terkemuka) dan dengannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar (yang saling berperang) di antara kaum Muslimin.[3]
Kisah tentang hal ini sudah dikenal, tetapi tidak perlu diceritakan di sini. (Pada catatan kaki tulisan asli dikemukakan penjelasan berikut :
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji Hasan (bin Ali) disebabkan perdamaian yang terjadi karena tindakannya. Lantaran itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa salllam menyebutnya sebagai sayyid, sebab yang dilakukan Hasan dicintai dan diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Andaikata peperangan yang terjadi antar sesama kaum Muslimin merupakan hal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, tentu tindakan Hasan tidak akan dipuji (oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ), bahkan bisa jadi Hasan telah meninggalkan kewajiban atau meninggalkan sesuatu yang lebih dicintai oleh Allah. Ini merupakan nash (dalil) shahih yang menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh Hasan (bin Ali) adalah terpuji dan diridhai di sisi Allah dan rasul-Nya. Majmu’ [Fatawa Ibnu Taimiyah XXXV/70-71]
Jadi (sekali lagi-pen.) kekhalifahan tertetapkan bagi Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu sepeninggal Utsman Radhiyallahu anhu , dengan berbaiatnya semua sahabat kepadanya kecuali Mu’awiyah Radhiyallahu anhu dan penduduk Syam.
Dalam hal ini yang benar adalah Ali Radhiyallahu anhu. Sebab ketika Utsman Radhiyallahu anhu terbunuh, banyak kedustaan dan rekayasa yang dibuat berkaitan dengan Utsman Radhiyallahu anhu dan para tokoh sahabat di Madinah seperti Ali, Thalhah dan Zubair Radhiyallahu anhum. Sybhat (kerancuan) ini menjadi semakin besar dan rancu bagi orang-orang yang tidak memahami kenyataan. Hawa nafsupun semakin kuat pada diri Ahlil Ahwa’ (para pengikut hawa nafsu) dan para oportunis yang tinggal jauh dari Syam. Sedangkan orang-orang yang cinta Utsman mempunyai prasangka buruk terhadap para tokoh sahabat. Kabar-kabar yang sampai kepada mereka tentang para tokoh sahabat ini sebagiannya merupakan kabar bohong, sebagiannya lagi sudah mengalami penambahan dan pengurangan, dan sebagiannya lagi tidak jelas sumbernya. Ditambah lagi dengan adanya hawa nafsu sekelompok orang yang menginginkan kekuasaan (kesewenang-wenangan) di muka bumi.
Sementara itu di tengah pasukan Ali Radhiyallahu anhu terdapat para pemberontak khawarij yang telah berhasil membunuh Utsman Radhiyallahu anhu, namun tidak dapat diketahui orangnya, atau karena mendapat perlindungan dari kabilahnya, atau tidak dapat dibuktikan keterlibatannya, atau karena kemunafikan yang tersembunyi di hatinya tidak dapat terkuak secara jelas.
Karena itu Thalhah dan Zubair Radhiyallahu anhuma berpandangan bahwa harus menuntut pembelaan terhadap kematian asy-Syahid (Utsman Radhiyallahu anhu) yang teraniaya dan menumpas para pelaku kejahatan dan pelaku permusuhan. Jika tidak, dikhawatirkan akan mendatangkan kemurkaan Allah dan siksa-Nya. Maka terjadilah fitnah (tragedi) perang Jamal, tanpa kehendak dari Ali dan tidak pula dari Thalhah maupun Zubair Radhiyallahu anhum . Tetapi karena provokasi yang dilakukan oleh para perusak, tanpa sedikitpun kehendak dari para pendahulu umat Islam.
Sesudah itu muncul lagi fitnah (tragedi) perang Shifin, ketika Ali Radhiyallahu anhu dan para pengikutnya berpandangan bahwa penduduk Syam (juga) wajib taat dan berbaiat kepadanya, sebab kaum Muslimin tidak boleh memiliki (khalifah) kecuali satu khalifah saja. Dan bahwa mereka (penduduk Syam) telah keluar dari ketaatan kepadanya dan tidak mau melaksanakan kewajiban ini (kewajiban taat dan berbai’at kepada Ali Radhiyallahu anhu-pen.), sedangkan mereka mempunyai kekuatan. (Maka) Ali Radhiyallahu anhu berpandangan untuk memerangi mereka sampai mereka melaksanakan kewajiban ini, sehingga tercapailah ketaatan dan jama’ah.
Dalam pada itu penduduk Syam menyatakan bahwa tidak wajib bagi mereka (untuk taat kepada Ali Radhiyallahu anhu ), dan jika mereka diperangi karena ini, berarti mereka menjadi orang yang dizalimi. Mereka mengatakan, bahwa berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin, Utsman Radhiyallahu anhu dibunuh secara teraniaya, sedangkan para pembunuhnya ada di tengah-tengah pasukan Ali Radhiyallahu anhu , padahal posisi para pembunuh ini menang karena mereka mempunyai kekuatan. Jika kami (penduduk Syam) diam saja terhadap mereka, maka mereka akan berbuat zalim dan akan berbuat melampaui batas kepada kami. Ali Radhiyallahu anhu tidak mungkin dapat menghalangi mereka (para pembunuh Utsman-pen.) sebagaimana beliau juga tidak mampu mencegah terjadinya pembunuhan terhadap Utsman Radhiyallahu anhu. Kami (penduduk Syam) hanya berkewajiban untuk berbaiat kepada khalifah yang mampu berbuat adil kepada kami dan mencurahkan sikap adilnya kepada kami.
Adapun Mu’awiyah Radhiyallahu anhu , beliau tidak mengklaim sebagai khalifah dan tidak dibaiat sebagai khalifah ketika memerangi Ali Radhiyallahu anhu . Beliau juga tidak memerangi Ali Radhiyallahu anhu lantaran Ali Radhiyallahu anhu sebagai Khalifah atau lantaran Ali Radhiyallahu anhu dianggap tidak berhak menjadi khalifah.
Mereka (Mu’awiyah Radhiyallahu anhu dan penduduk Syam) mengakui bahwa kekhalifahan adalah haknya Ali Radhiyallahu anhu. Mu’awiyah Radhiyallahu anhu juga menegaskan pengakuannya terhadap kekhalifahan Ali Radhiyallahu anhu jika ada orang bertanya kepadanya tentang itu. Mu’awiyah Radhiyallahu anhu bersama sahabatnya tidak pernah mempunyai pandangan untuk memulai peperangannya terhadap Ali Radhiyallahu anhu. [4]
Sementara itu kebanyakan tokoh sahabat tidak ikut serta dalam peperangan (Shifin) itu, karena adanya nash-nash (dalil-dalil) yang mereka dengar yang memerintahkan supaya mereka tidak ikut terlibat apabila berada dalam fitnah. Juga karena apa yang mereka lihat bahwa dari fitnah, kerusakan akan semakin tumbuh subur mengalahkan kemaslahatan.
Yang jelas, terhadap semuanya harus diucapkan kata-kata yang baik (seperti mendoakan mereka semua dengan doa :
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ وَلاَتَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang“. [Al- Hasyr/59 : 10]
Fitnah yang terjadi pada zaman Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu adalah fitnah yang tangan-tangan kita telah dijaga oleh Allah Azza wa Jalla darinya, (sehingga kita tidak terlibat di dalamnya dan tangan kita bersih daripadanya-pen). Oleh karena itu kita (juga) memohon kepada Allah Azza wa Jalla –dengan karunia dan kebaikan-Nya- agar lidah kitapun kini dijaga dari (terlibat dalam) fitnah tersebut.
Selanjutnya, diantara keutamaan Amir al-Mu’minin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu ialah :
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu.
Sa’ad berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ali Radhiyallahu anhu.
أنْتَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُوْنَ مِنْ مُوْسَى ، إِلاَّ أَنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي
Engkau di hadapanku ibarat Harun di hadapan Musa, hanya saja tidak ada lagi nabi sesudahku.[5]
2. Dari Sahl bin Sa’d Radhiyallahu anhu , ia mengatakan : Sesungguhnya pada hari perang Khaibar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
(لأُعْطِيَنَّ هَذِهِ الرَّايَةَ غَداً رَجُلاً يَفْتَحُ اللهُ عَلَى يَدَيْهِ يُحِبُّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ، وَيُحِبُّهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ) قَالَ : فَبَاتَ النَّاسُ يَدُوْكُوْنَ لَيْلَتَهُمْ أَيُّهُمْ يُعْطَاهَا ؟ فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّاسُ غَدَوْا عَلَى رَسُوْلِ اللهِ –صلى الله عليه وسلم- كُلُّهُمْ يَرْجُو أَنْ يُعْطَاهَا، فَقَالَ : (أَيْنَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ؟) فَقِيْلَ : هُوَ يَا رَسُوْلَ اللهِ يَشْتَكِي عَيْنَيْهِ، قَالَ : (فَأَرْسِلُوْا إِلَيْهِ) فَأُتِيَ بِهِ فَبَصَقَ فِي عَيْنَيْهِ وَدَعَا لَهُ فَبَرَأَ كَأَنْ لَمْ يَكُنْ ِبهِ وَجَعٌ، فَأَعْطَاهُ الرَّايَةَ
“Sesungguhnya aku akan memberikan bendera (komando) ini besok kepada seseorang yang melalui kedua tangannya Allah akan memberikan kemenangan. Ia menyintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah serta Rasul-Nyapun menyintainya” Sahl berkata : Maka orang-orangpun berjaga pada malam hari itu, membicarakan siapa yang (besok) akan diberi bendera. Ketika pagi hari tiba, maka mereka bersegera menuju Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , masing-masing berharap akan diberi bendera. Maka Nabi bersabda : “Dimana Ali bin Abi Thalib?” Lalu dijawab : Dia sedang menderita sakit kedua matanya wahai Rasulullah. Beliau bersabda : “Utuslah, jemputlah ia”. Maka didatangkanlah Ali, lalu Nabi meludahi kedua matanya dan mendoakannya. Maka sembuhlah seakan-akan tidak pernah ada penderitaan pada Ali. Maka Nabipun memberikan bendera kepada Ali. [6]
Ketika ayat dibawah ini turun
فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَآءَنَا وَأَبْنَآءَكُمْ
Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu. [Ali Imran/3 : 61]
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, lalu beliau bersabda :
اَللَّهُمَّ هؤلآءِ أَهْلِي
Ya Allah, mereka adalah keluargaku. [7]
3. Dari Zir bin Hubaisy, ia mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu berkata :
وَاللهِ إِنَّ لَمِمَّا عَهِدَ إِلَيَّ النَّبِيُّ –صلي الله عليه وسلم- أَنَّهُ لاَ يُبْغِضُنِي إِلاَّ مُنَافِقٌ وَلاَ يُحِبُّنِي إِلاَّ مُؤْمِنٌ
Demi Allah, sesungguhnya diantara apa yang ditetapkan kepadaku oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam, ialah bahwasanya tidak ada orang yang membenciku kecuali munafik, dan tidak ada yang menyintaiku kecuali mukmin. [8]
Imam Thahawi rahimahullah selanjutnya mengatakan : “Mereka adalah al-Khulafa’ ar-Rasyidun dan para Imam yang mendapat petunjuk”
SYARAH.
Dalam sebuah hadits shahih yang terdapat dalam Kitab as- Sunan dan di shahihkan oleh at-Tirmidzi, dari Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan :
وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا ْالقُلُوبُ فَقَالَ قائل: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَىاللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدي تَمَسَّكُوْا بِهَا وَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat tandas yang menyebabkan air mata bercucuran dan hati tergetar karenanya. Maka ada seseorang bertanya : Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan, karena itu apakah gerangan yang ingin anda pesankan kepada kami?. Maka beliau menjawab : “Aku wasiatkan kepada kalian untuk (senantiasa) taat dan mendengar (kepada pimpinan-pen.). Sesungguhnya barangsiapa yang hidup (berumur panjang) diantara kamu sepeninggalku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh sebab itu berpeganglah kalian semua pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidun; orang-orang yang mendapat petunjuk, sesudahku. Berpeganglah terhadap sunnah itu dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Dan hati-hatilah, jangan sekali-kali kalian mengada-adakan perkara-perkara baru karena setiap yang bid’ah adalah sesat”. [Hadits Shahih, dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi]
Urut-urutan keutamaan para Khulafa’ur Rasyidun Radhiyallahu anhum adalah seperti urut-urutan mereka dalam kekhalifahan. Abu Bakar dan Umar adalah dua orang yang jelas memiliki keutamaan lebih. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam telah secara umum memerintahkan kita semua untuk mengikuti sunnah al-Khulafa’ ar-Rasyidun, tetapi tidak memerintahkan kepada kita untuk mengikuti jejak perbuatan-perbuatan mereka kecuali jejak Abu Bakar dan Umar. Dalam hal ini beliau Shallallahu ‘alaihi wa salllam bersabda :
تَدُوْا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ
Ikutilah jejak kedua orang ini sepeninggalku ; Abu Bakar dan Umar. [9]
Adalah berbeda antara mengikuti sunnah mereka (secara umum) dengan mengikuti jejak-jejak perbuatan mereka. Dengan demikian keadaan Abu Bakar dan Umar berada di atas keadaan Utsman dan Ali –Radhiyallahu ‘anhum ajma’in-.
Sesungguhnya telah diriwayatkan bahwa Abu Hanifah lebih mendahulukan keutamaan Ali Radhiyallahu anhu daripada Utsman Radhiyallahu anhu. Tetapi menurut zhahir madzhabnya, Utsman Radhiyallahu anhu lebih di dahulukan keutamaannya daripada Ali Radhiyallahu anhu. Inilah pula (mendahulukan keutamaan Utsman daripada Ali-pen.) yang menjadi madzhab umumnya Ahlu Sunnah.
Begitu juga perkataan Abdur Rahman bin Auf kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhuma [10].
أَنِّي قَدْ نَظَرْتُ فِي أَمْرِ النَّاسِ، فَلَمْ أَرَهُمْ يَعْدلُوْنَ بِعُثْمَانَ
Sesungguhnya aku telah memperhatikan perkara manusia, dan aku lihat mereka tidak berpaling dari Utsman. [HR. Bukhari : 7207] [11].
Ayub as-Sakhtiyani –seorang Imam, Tabi’i yang hafizh, tsiqah tsabat [12] mengatakan : Barangsiapa yang tidak mendahulukan keutamaan Utsman Radhiyallahu anhu dari pada Ali Radhiyallahu anhu, maka ia telah menghinakan kaum Muhajirin dan Anshar.
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , ia mengatakan : Kami (dahulu) membuat pernyataan ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup bahwa :
أَفْضَلُ أُمَّةِ النَّبِيِّ –صلي الله عليه وسلم- بَعْدَهُ : أَبُوْ بَكْرٍ ثُمَّ عُمَر ثُمَّ عُثْمَان
Umat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam yang paling utama sepeninggal beliau adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman. [13]
“Demikian urut-urutan keutamaan para Khulafa’ ar-Rasyidun ; yaitu Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian Ali –radhiyallahu ‘anhum ajma’in-. Sementara itu, Mu’awiyah bin Abu Sufyan Radhiyallahu anhuma adalah seorang sahabat mulia yang tidak pernah mengingkari kekhalifahan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu. Beliau adalah penguasa kaum Mukminin yang terbaik sesudah masa Khilafah Nubuwwah. Dan seluruh kaum Muslimin tidak boleh mencela satupun sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam . Wa nas’alullaha at-Taufiq –pen.”
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/14218H/2001. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Yakni pada pembahasan aqidah Thahawiyah sebelumnya dan tidak dimuat di majalah As-Sunnah-pen.
[2]. Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad V/220-221, Abu Dawud 4646-4647, Ibnu Abi Ashim 1181 & 1185, dan lain-lain – lihat majalah al-Furqan ed. 118 Th. XII Syawal 1420 H/Feb. 2000 M, tentang Syarh Aqidah Thahawiyah, catatan kaki no. 8. Syaikh al-Albani rahimahullah juga menghasankannya dalam takhrij Syarh Aqidah Thahawiyah hal. 473, takhrij no. 683
[3]. Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Bukkhari di beberapa tempat, diantaranya di dalam Kitab ash-Shulh V/307, dari hadits Abu Bakrah Radhiyallahu ‘anhu
[4]. Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah XXXV/72-73 dengan beberapa perubahan bahasa
[5]. Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam Fadhail as-Shahabah V/71, juga dalam al-Maghazi VIII/112. Dan oleh Muslim dalam Fadhail as-Shahabah II/1870-1871; Lafal ini adalah lafal Muslim.
[6]. Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam al-Jihad VI/144, Fadhail as-ShahabahVII/70, juga dalam al-Maghazi VII/476. Dan oleh Muslim dalam Fadhail as-Shahabah IV/1872 dari hadits Sahl Radhiyallahu anhu. Berkaitan dengan masalah ini, juga terdapat hadits dari Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Hurairah, dan Salamah bin al-Akwa’. Lihat sumber-sumber di atas.
[7]. Dikeluarkan oleh Muslim dalam Fadhail as-Shahabah IV/1871, dari hadits Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu.
[8]. Hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad I/84 dan di dalam Fadhail as-Shahabah 948 , 961, dan lain-lain
[9]. Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Ahlus Sunan, lihat Takhrij Syaikh al-Albani dalam Syarh Aqidah Thahawiyah hal. 472 takhrij no 675-pen.
[10]. Pada kisah pembaiatan Utsman menjadi Khalifah sesudah Umar, lihat Syarh Aqidah Thahawiyah Takhrij Syaikh al-Albani rahimahullah hal 481-482-pen.
[11]. Perkataan Abdur Rahman bin Auf di atas menunjukkan bahwa para sahabat lebih mendahulukan keutamaan Utsman daripada Ali, mereka semua sepakat untuk membaiat Utsman. Maka pada lanjutan perkataan Abdur Rahman bin Auf mempertegas bahwa Alipun harus ikut berbaiat kepada Utsman. Wallahu a’lam Lihat kelengkapan hadits di atas-pen.
[12]. Istilah dalam Musthalah Hadits untuk memuji keadilan seorang rawi pada tataran paling tinggi- pen.
[13]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Fadhail as-Shahabah VII/54 dan Ahmad II/14.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3766-ali-bin-abi-thalib-radhiyallahu-anhu-khalifah-iv.html